Freeport Investment Still Ramps
1:43 PM
Add Comment
PT Freeport Indonesia estimates that it will spend US $ 600 million in the next 2 years for a copper smelter construction project that is estimated to be spending US $ 2.3 billion - US $ 3 billion.
Kathleen L. Quirk
Freeport-McMoRan Inc.'s Executive Vice President & Chief Financial Officer Kathleen L. Quirk said the Freeport Indonesia copper smelter project was still limited to the completion of front-end engineering design (FEED). Therefore, the value of its investment this year is estimated to be under US $ 100 million.
Quirk said Freeport had contracted with third parties to conduct studies. It also evaluates potential potential partners and funding plans for the smelter. Although it is necessary to wait for the detailed design results to determine the exact future investment requirements, Freeport McMoran estimates that the expenditure for the smelter in 2020 will surge.
"We don't have specific figures before the detailed design is complete, but we estimate around US $ 500 million next year," her said in quarterly conference call 1/2019.
Richard C. Adkerson
It hopes that the funding for the smelter will not come directly from Freeport-McMORan as the holding company, but from PTFI or with other partners. Meanwhile, Freeport McM0Ran's Chief Executive Officer Richard C. Adkerson explained that if funding for the smelter originates from debt, as is likely to occur, it will have an impact on Freepon-McMoRan's consolidated debt.
Clearly, cash financing will come from PTFI's cash. Adkerson also stated that his party had committed to accelerate smelter construction, especially after a follow-up agreement with the Indonesian Government in December 2018. According to him, the initial target set by the government has been fulfilled. Therefore, currently it is accelerating various jobs in order to meet the target of smelter operations in 2023.
Regarding the construction of a joint smelter with PT Amman Mineral Nusa Tenggara (PT AMNT), Adkerson said that this was no longer a priority. Because, PT AMNT is also building a smelter on Sumbawa.
PT Smelting In Gresik East Java
"We remain focused on Gresik and continue to communicate with them [PT AMNT] whether they will join us there," he said.
President Director of PT AMNT Rachmat Makkasau said that his company had signed a contract for FEED with Outotec in the fourth quarter of 2018. The capacity according to the FEED is 1.3 million tons of copper concentrate per year. This amount is most likely only possible accommodating PT AMNT's own copper concentrate.
"Current plans for the FEED are still 1.3 million tons. The main thing is we focus on 1.3 million tons first, "he said.
LOW MARGIN
While visiting the Bisnis Indonesia editorial on Thursday (25/4), PT Smelting General Affair Manager Sapto Hadi Prayetno said that not many mining companies wanted to build a smelter. Because the margin in the upstream sector is indeed much higher than the smelter. According to him, the biggest added value in the mineral flushing chain is in the downstream industry which reprocesses intermediate products into ready-made products.
As for Smelting, the copper concentrate became a copper cathode which is still classified as an intermediate product.
"Building a smelter is not easy and many things must be considered. Value added should be in the downstream and the value is greater, "he said.
On the other hand, the absorption of products between the downstream industry in the country is still low. For copper cathodes, which are currently only produced by Smelting, 60% of their production is still exported. While the remaining 40% is only bought by five domestic buyers. The Smelting copper cathode production last year amounted to 242,000 tons in addition to other copper concentrate products such as sulfuric acid and copper slag.
"Supposedly, many domestic downstream industries absorb copper cathodes. However, this downstream has not yet been developed, "he said.
According to him, Indonesia must be able to attenuate the distance from other countries in developing metal-based industries.
IN INDONESIA
Investasi Freeport Masih Landai
PT Freeport Indonesia memperkirakan baru akan menghabiskan US$ 600 juta dalam 2 tahun ke depan untuk proyek pembangunan smelter tembaga yang diperkirokon bakal menghabiskan US$ 2,3 miliar - US$ 3 miliar.
Executive Vice President & Chief Financial Officer Freeport-McMoRan Inc. Kathleen L. Quirk mengatakan proyek pengerjaan smelter tembaga Freeport Indonesia masih terbatas pada penyelesaian desain teknis dan rekayasa awal (front-end engineering design/ FEED). Oleh karena itu, nilai investasinya pada tahun ini diperkirakan masih di bawah US$100 juta.
Quirk mengungkapkan Freeport sudah berkontrak dengan pihak ketiga untuk melakukan studi. Pihaknya pun seadng mengevaluasi calon mitra potensial dan rencana pendanaan untuk smelter tersebut. Meskipun perlu menunggu hasil desain terperinci untuk mengetahui kebutuhan investasi selanjutnya secara pasti, Freeport McMoran memperkirakan pengeluaran untuk smelter pada 2020 bakal melonjak.
“Kami belum punya angka spesifik sebelum desain terperinci selesai, tapi kami mengestimasikan di kisaran US$ 500 juta pada tahun depan,” katanya dalam conference call kuartal 1/2019.
Pihaknya berharap pendanaan untuk smelter tersebut tidak berasal langsung dari Freeport-McMORan sebagai induk usaha, tetapi berasal dari PTFI atau dengan mitra lainnya. Sementara itu, Chief Executive Officer Freeport McM0Ran Richard C. Adkerson menjelaskan apabila pendanaan untuk smelter tersebut berasal dari utang seperti yang kemungkinan besar terjadi, akan berdampak pada utang konsolidasi Freepon-McMoRan.
Yang jelas, pembiayaan secara tunai akan berasal dari kas PTFI. Adkerson pun menyatakan pihaknya sudah berkomitmen untuk mempercepat pembangunan smelter, khususnya setelah ada perjanjian lanjutan dengan Pemerintah Indonesia pada Desember 2018. Menurutnya, target awal yang ditetapkan oleh pemerintah telah terpenuhi. Oleh karena itu, saat ini pihaknya mempercepat berbagai pekerjaan agar bisa memenuhi target operasi smelter pada 2023.
Terkait dengan pembangunan smelter bersama PT Amman Mineral Nusa Tenggara (PT AMNT) yang sempat mengemuka, Adkerson mengatakan hal tersebut sudah tidak menjadi prioritas lagi. Pasalnya, PT AMNT juga sedang membangun smelter di Sumbawa.
“Kami tetap fokus di Gresik dan terus berkomunikasi dengan mereka [PT AMNT] apakah mereka akan bergabung dengan kami di sana,” tuturnya.
Presiden Direktur PT AMNT Rachmat Makkasau mengatakan pihaknya pun telah menandatangani kontrak untuk FEED dengan Outotec pada kuartal IV/2018. Adapun kapasitasnya sesuai dengan FEED tersebut adalah 1,3 juta ton konsentrat tembaga per tahun. Jumlah tersebut kemungkinan besar hanya bisa
menampung konsentrat tembaga milik PT AMNT sendiri.
“Rencana sekarang sesuai FEED masih 1,3 juta ton. Pokoknnya kita fokus di 1,3 juta ton dulu,” ujarnya.
MARGIN RENDAH
Saat berkunjung ke redaksi Bisnis Indonesia pada Kamis (25/4), General Affair Manager PT Smelting Sapto Hadi Prayetno mengatakan belum banyak perusahaan tambang yang mau membangun smelter. Pasalnya, margin di sektor hulu memang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan smelter. Menurutnya, nilai tambah paling besar dalam rantai penghiliran mineral berada di industri hilir yang mengolah kembali produk antara menjadi produk siap pakai.
Adapun Smelting melakukan kegiatan pemumian konsentrat tembaga menjadi katoda tembaga yang masih tergolong produk antara (intermediate).
“Membangun smelter tidak gampang dan banyak hal yang harus dipertimbangan. Value added mestinya di hilirnya dan nilainya lebih besar,” katanya.
Di sisi lain, penyerapan produk antara oleh industri hilir di dalam negeri masih rendah. Untuk katoda tembaga, yang saat ini baru saja diproduksi oleh Smelting, sebesar 60% dari produksinya masih diekspor. Sementara 40% sisanya hanya dibeli oleh lima pembeli di dalam negeri. Adapun produksi katoda tembaga Smelting sepanjang tahun lalu sebanyak 242.000 ton di samping produk hasil pemurnian konsentrat tembaga lainnya seperti asam sulfat dan terak tembaga.
“Seharusnya, banyak industii hilir di dalam negeri yang menyerap katoda tembaga. Namun, downstream-nya ini memang belum dikembangkan,” ujarnya.
Menurutnya, Indonesia harus bisa menipiskan jarak dengan negara lain dalam pengembangan industri berbasis logam.
Bisnis Indonesia, Page-10, Saturday, April 27, 2019
0 Response to "Freeport Investment Still Ramps"
Post a Comment