DG Taxation Financial Statements Not trusting Google
5:09 PM
Add Comment
DIGITAL BUSINESS TAX
DG Taxation Financial Statements Not Trusting Google Directorate General of Taxation (Taxation Office) do not fully trust the financial statements given Google Indonesia PT.
Based on the financial statements of the period 2012 to 2015 will be reported to the Directorate General of Taxation Google, Google makes a profit before tax of Rp 74.5 billion, with total taxes paid Rp 18.5 billion.
Even Bloomberg data released after the meeting between Google and the Directorate General of Taxation, Ministry of Finance on January 19, 2017 said, Google has paid taxes in 2015 amounting to Rp 5.2 billion of the total revenue of Rp 20.9 billion or US $ 1.6 million.
But Muhammad Haniv, Head of Regional Office DGT Jakarta Special, has another opinion. According to data released by US research company Marketer, total revenue from digital advertising business in Indonesia in 2015 amounted to US $ 830 million. Well, from that value, the government estimates that Google and Facebook holds a market share of about 70%. "I'm not sure, Google Indonesia Any revenue is greater than $ 20.9 billion," said Haniv.
With the above assumptions, the Directorate General of Taxation estimate the tax liability to be paid Google reached Rp 450 billion per year, assuming profits earned around Rp 1.6 trillion to Rp 1.7 trillion per year. The profit derived from income of approximately US $ 5 billion per year. Therefore, Haniv said it will continue to hunt down tax Google. "We have a sniper stance to tax Google," he said without specifying what he meant stance.
Bawono Kristiaji, tax investigators from Danny Darussalam Tax Center, suggested that the Tax Directorate follow a policy of India in taxing the digital business in 2016 ago. Countries that use the equalization levy (EQL). This instrument is a final tax for digital transactions, so it is not complicated administration, and do not have a variety of special requirements such as diverted profits tax which is applied in the UK.
"EQL is also better ensure the reception regardless of how the contribution of the functions, assets and risks of entities that exist in India because of the visits is market based her," he said.
So, Bawono said, if the tax is calculated using the server, the strategy was not enough to force Google. "This is where the challenge. Google in Indonesia does not have the functions, assets and risks are substantial, despite having a large market based, "he said.
IN INDONESIAN
PAJAK BISNIS DIGITAL
Ditjen Pajak Belum mempercayai Laporan Keuangan Google
Ditjen Pajak Belum Mempercayai Laporan Keuangan Google Direktorat Jenderal Pajak (Ditjen Pajak)belum sepenuhnya mempercayai laporan keuangan yang diberikan PT Google Indonesia.
Berdasarkan laporan keuangan periode 2012 hingga 2015 yang dilaporkan Google ke Ditjen Pajak, Google hanya memperoleh laba sebelum pajak Rp 74,5 miliar, dengan total keseluruhan pajak yang dibayarkan Rp 18,5 miliar.
Bahkan data Bloomberg yang dirilis pasca pertemuan antara Google dan Ditjen Pajak Kementerian Keuangan pada 19 Januari 2017 menyebutkan, Google telah membayarkan pajak 2015 senilai Rp 5,2 miliar dari total pendapatan sebesar Rp 20,9 miliar atau US$ 1,6 juta.
Tapi, Muhammad Haniv, Kepala Kantor Wilayah DJP Jakarta Khusus, punya pendapat lain. Sesuai data yang dirilis perusahaan riset AS Marketer, total pendapatan dari bisnis iklan digital di Indonesia pada tahun 2015 adalah sebesar US$ 830 juta. Nah, dari nilai itu, pemerintah memperkirakan Google dan Facebook memegang pangsa pasar sekitar 70%. “Saya tidak yakin, revenue Google Indonesia saja lebih besar dari Rp 20,9 miliar,” kata Haniv.
Dengan asumsi di atas, Ditjen Pajak menaksir kewajiban pajak yang harus dibayar Google mencapai Rp 450 miliar per tahun dengan asumsi keuntungan yang diperoleh sekitar Rp 1,6 triliun hingga Rp 1,7 triliun per tahun. Keuntungan itu diperoleh dari penghasilan sekitar Rp 5 triliun per tahun. Oleh karena itu, kata Haniv, pihaknya akan terus memburu pajak Google. “Kami punya jurus jitu memajaki Google,” ujarnya tanpa menyebutkan jurus apa yang dimaksud.
Bawono Kristiaji, peneliti pajak dari Danny Darussalam Tax Center, menyarankan agar Ditjen Pajak mengikuti kebijakan India dalam memajaki bisnis digital pada 2016 lalu. Negara itu menggunakan equalization levy (EQL). Instrumen ini bersifat pajak final bagi transaksi digital, sehingga tidak rumit secara administrasi serta tidak memiliki berbagai persyaratan khusus seperti halnya diverted profit tax yang diterapkan di Inggris.
“EQL juga lebih menjamin penerimaan terlepas dari bagaimana kontribusi fungsi, aset dan risiko dari entitas yang ada di India karena yang dilihat adalah market based-nya," katanya.
Jadi, kata Bawono, jika menghitung pajak penggunaan server, strategi itu tidak cukup memaksa Google. “Di sinilah tantangannya. Google di Indonesia tidak memiliki fungsi, aset, dan risiko yang substansial, walaupun memiliki market based yang besar,” katanya.
Kontan, Page-2, Monday, Feb, 20, 2017
0 Response to "DG Taxation Financial Statements Not trusting Google"
Post a Comment