Freeport and Divestment
9:27 AM
Add Comment
PT Indonesia Asahan Aluminum (Persero) has paid 3.85 billion US dollars or almost Rp. 60 Trillion to redeem the shares of PT Freeport Indonesia with 51.23 percent ownership. The payment was the fruit of a divestment agreement between the government and Freeport McMoran Inc. as the holding company of PT Freeport Indonesia. There must be a worthy or even more benefit for the jumbo class transaction.
PT Indonesia Asahan Aluminum (Persero)
Talking about Freeport is not just about mining. Many issues have arisen, even become the attention of the international community. The problem of Tailing, for example, is that around 200,000 tons are disposed every day to the river to the sea.
Tailing of Freeport McMoran Inc.
The massive volume of tailings is in line with the volume of ore dredged Hundreds of thousands of tons of ore daily such as being compensated for Freeport's high operating costs for difficult and challenging terrain in the interior of Timika.
In small volumes, mining will not be economical. Every year, Freeport's operating costs are 2 billion US dollars or almost Rp. 30 trillion. Not to mention local social problems. Papua's high dependence, especially Mimika, on Freeport's operations is not encouraging news.
Because, as a business, extractive resources that cannot be renewed, one day mining operations will be stopped because of running out of reserves or resources. Then, what is the fate of the people around them and who are no less important?
This is what must be considered. It has been 50 years Freeport has operated in Papua and has not succeeded in "removing" Papua from its dependence on the gold and copper mining operations. Indeed, this kind of business is not really a private corporate business, but the responsibility of the government, both central and regional. However, Freeport is a very complete owner of large resources (capital, technology and human resources).
Hundreds of millions of US dollars or the equivalent of trillions of rupiah in taxes and royalties paid by Freeport to the government should be driving capital of the local economy. Not as consumption capital. Local potential is developed through capital in the form of state revenues in the form of taxes or non-taxes from Freeport. This is in anticipation if Freeport stops operating in time.
These problems must be answered by Inalum as the majority shareholder. As is the initial goal of divestment, namely the control of natural resources by the state for all the size for the prosperity of the people, must really be realized. Do not let the divestment only become an arena for connoisseurs of instant profits or commonly known as rent-seeking practices.
Other things about downstreaming have not yet been answered. At least, downstreaming can create added value which ultimately can reduce Papua's dependence on Freeport's existence. This is what Inalum must pay attention. As a new owner who is psychologically closer because of Indonesia's representation, Inalum must be able to make the community around the mine empowered or independent.
The downstream mandate as Act Number 4 of 2009 concerning Mineral and Coal Mining must be realized. In addition to the smelter, the location will also be used as a fertilizer industry, cement packaging and petrochemicals. Unfortunately, until now the fate of the continuation of the plan evaporated somewhere.
IN INDONESIAN
Freeport dan Divestasi
PT Indonesia Asahan Aluminium (Persero) telah membayar 3,85 miliar dollar AS atau hampir Rp 60 Triliun untuk menebus saham PT Freeport Indonesia dengan kepemilikan 51,23 persen. Pembayaran itu adalah buah kesepakatan divestasi antara pemerintah dan Freeport McMoran Inc selaku perusahaan induk PT Freeport Indonesia. Harus ada manfaat yang setimpal atau bahkan lebih untuk transaksi kelas jumbo itu.
Bicara tentang Freeport memang bukan tentang tambang saja. Banyak isu yang muncul, bahkan menjadi perhatian dunia internasional. Soal Tailing, misalnya, sekitar 200.000 ton dibuang setiap hari ke sungai menuju laut.
Volume tailing yang masif sejalan dengan volume bijih yang dikeruk Ratusan ribu ton bijih setiap hari seperti menjadi kompensasi atas biaya operasi Freeport yang tinggi untuk medan yang sulit dan menantang di pedalaman Timika.
Dalam volume kecil, penambangan tidak akan ekonomis. Setiap tahun, biaya operasi Freeport 2 miliar dollar AS atau nyaris Rp 30 triliun. Belum lagi masalah sosial setempat. Ketergantungan Papua yang tinggi, apalagi Mimika, terhadap operasi Freeport bukan kabar menggembirakan.
Pasalnya, sebagai sebuah bisnis, sumber daya ekstraktif yang tidak bisa diperbarui, suatu saat operasi tambang akan terhenti karena kehabisan cadangan atau sumber daya. Lalu, bagaimana nasib orang-orang di sekitarnya dan yang tidak kalah penting alamnya?
Hal ini yang hams dipikirkan. Sudah 50 tahun Freeport beroperasi di tanah Papua dan belum berhasil ”mengeluarkan” Papua dari ketergantungan terhadap operasi tambang emas dan tembaga itu. Memang, urusan semacam ini sejatinya bukan urusan korporasi swasta, melainkan tanggung jawab pemerintah, baik pusat maupun daerah. Namun, Freeport adalah pemilik sumber daya besar (modal, teknologi, dan sumber daya manusia) yang sangat komplit.
Ratusan juta dollar AS atau setara triliunan rupiah pajak dan royalti yang dibayarkan Freeport kepada pemerintah sebaiknya menjadi modal penggerak ekonomi lokal. Bukan sebagai modal konsumsi. Potensi lokal dikembangkan melalui modal berupa penerimaan negara berupa pajak ataupun bukan pajak dari Freeport. Ini sebagai antisipasi jika Freeport berhenti beroperasi pada waktunya nanti.
Persoalan-persoalan itu harus bisa dijawab Inalum sebagai pemilik saham mayoritas. Seperti yang menjadi cita-cita awal divestasi, yaitu penguasaan sumber daya alam oleh negara untuk sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat, harus benar-benar terwujud. Jangan sampai divestasi hanya menjadi arena bagi para penikmat keuntungan sesaat atau yang biasa dikenal sebagai praktik perburuan rente.
Hal lain mengenai hilirisasi sampai sekarang belum terjawab. Setidaknya, hilirisasi bisa menciptakan nilai tambah yang ujung-ujungnya dapat mengurangi ketergantungan Papua terhadap keberadaan Freeport. Inilah yang harus diperhatikan Inalum. Sebagai pemilik baru yang lebih dekat secara psikologis karena representasi Indonesia, Inalum harus mampu membuat masyarakat sekitar tambang berdaya atau mandiri.
Amanat hilirisasi sebagaimana Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara harus diwujudkan. Selain smelter, Iokasi tersebut juga hendak dijadikan kawasan industri pupuk, pengepakan semen, dan petrokimia. Sayangnya, sampai sekarang nasib kelanjutan rencana tersebut menguap entah ke mana.
Kompas, Page-13, Friday, Feb 1, 2019
0 Response to "Freeport and Divestment"
Post a Comment